Nyanyian Religius Kristen

00.01 / Diposting oleh KMK~PKM /

Dari Seminar Musik Gerejawi di Palangkaraya Bisakah Nyanyian Religius Kristen Berbentuk Hard Rock Atau Dangdut? Gereja kurang menjawab kebutahan musik generasi muda Dirgen Bimas Kristen Protestan Drs. Jan Kawatu mengatakan gereja-gereja di Indonesia masih kurang perhatian dalam menjawab genensi muda di bidang musik dan mengembangkan nyanyian jemaat, sehingga dikwatirkan kaum remaja terjerumus ke dalam pengaruh musik duniawi. Penilaian itu, disampaikan Jan Kawatu selaku ketua umum Lembaga Pengembangan Pesparawi Nasional (LPPN) dalam Seminar Musik Gerejawi di Palangkaraya. Seminar yang turut menyemarakkan Pesta Paduan Suara Gerejawi (pesparawi) IV itu juga menapilkan Romo YB. Mangunwijaya, Dr. L. Manik, musikolog Marusya Nainggolan MA, dan makalah utama dari Dr. Fredolin Ukur. Menurut Jan Kawatu, dalam situasi perkembangan kehidupan masyarakat yang di tandai derasnya arus modernisasi globalisasi, dan perkembangan iptek dewasa ini perlu di antisipasi agar kaum remaja tidak terjerus kedalam pengaruh musik yang duniawi. “Kita tahu dampak negative yang di timbulkan oleh pergelaran musik rock, metal, dan underground lainnya. Tidak saja merusak mental generasi muda, tetapi bisa juga mengaburkan nilai-nilai moral dan budaya yang sejak awal bertumbuh dalam kehidupan mereka, “katanya. Ia mengatakan gereja-gereja kurang bisa menjawab kebutuhan generasi muda di bidang musik dan mengembangkan nyanyian jemaatnya sendiri. Sadar atau tidak sadar, katanya dalam kenyataan musik dapat memberi semangat dan ransangan jiwa orang perorang termasuk para generasi muda. Ransangan itu dapat menimbulkan destruktif yang tidak terkendali. Ia mengharapkan seminar itu dapat memikirkan dan bahkan merekomendasikan agar musik-musik tradisional di gunakan dalam tata ibadah Kristiani. Masalah yang menarik perhatian para peserta seminar yaitu ketika budayawan YB. Mangun Wijya mempertanyakan apakah nyanyian religius Kristen harus anggun tradisional dan terkesan lamban sekali, ataukah dapat berbentuk “hard rock “ atau ektsrimnya boleh dangdut misalnya. Pertanyaan Romo Mangun itu tampaknya merupakan pertanyaan para jemaat yang khususnya telah menonton film “Sister Act” dibintangi Whoopy Goldber di mana dalam film itu lagu-lagu gereja dimodifikasi menjadi lagu berirama blues, disko atau hard rock, dimana para suster dan jemaat turut berdendang dan bergoyang di gereja. Sayang sekali, jawaban terhadap pertanyaan itu belum terjawab secara memuaskan. Bahkan Romo Mangun, seorang pendeta Katholik, berkesimpulan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab dengan memuaskan dan meyakinkan oleh umat gereja Kristen Protestan sendiri.
Pertanyaan lain yang dilontarkan Mangun itu apakah dapat dibayangkan gamelan atau angklung atau dari Dayak sebagai ekspresi otentik dalam upacara gereja Protestan. “Kesan masyarakat luar ialah bahwa umat Protestan suka nyanyi nyanyian gereja dalam bahasa Inggris. Apakah ini ciri warisan kolonial saja yang nanti hilang dengan sendirinya?” kata Romo. Panelis Dr. Fredolin Ukur, yang lebih memusatkan perhatian pada kaitan antara agama dan kesenian, mengatakan perkembangan budaya modern mengakibatkan kehidupan spiritual kian mengering. Ditengah keadaan seperti itu tampak ada gejala kehidupan kembali seni budaya religius di mana ungkapan-ungkapan estetis dialami sebagai jembatan untuk menyatakan iman dan kepercayaan. Bersamaan dengan itu, katanya perlu dicatat adanya bahaya bahwa seni hanya dilihat sebagai alat, untuk melayani agama, di mana “yang kudus” dipisahkan dari “yang indah”. “Seni bukannya untuk menghadirkan yang kudus, tetapi hanya sekedar melayani kebutuhan keagamaan,” ucap tokoh masyarakat Dayak itu. Hal itu, katanya akan kian terasa apabila kelembagaan agama itu yang menentukan baik tidaknya sesuatu karya seni. Kebersamaan seni dan agama hanya akan mungkin dialami, sejauh kehidupan nyata dengan segala aspeknya. Fredolin juga mempertanyakan apakah ada seni budaya Kristen? Dijawabnya sendiri bahwa budaya Kristen sebenarnya sudah ada sejak awal perkembangan kekristenan di dunia ini. Dengan demikian seperti dibenarkan Romo Mangun, seni budaya Kristen ialah semua bentuk seni, dari Barat ataupun Timur, dari Afrika, Asia, Maluku, Batak atau Jawa adalah sama-sama sah dan otentik selaku medium ekspresi religius kekristenan.
“Jadi tidak ada semacam monopoli untuk salah satu bentuk seni dari bangsa atau kelompok tertentu yang berhak mengklaim diri sebagai satu-satunya seni yang berpredikat Kristen,” ucap Romo Mangun. Manusia Dayak dengan selera Dayaknya, manusia Batak dengan segala kebatakannya, orang Maluku dengan gelora Malukunya, dan manusia Protestan Jawa dengan ekspresi Jawanya dan sebagainya, kata Romo. “Akan canggunglah kiranya apabila orang Irian harus mengekpresikan cita rasa religiusnya di dalam bahasa Ingris, bukan dosa atau noda, tetapi tidak otentik, tidak asli. Padahal segala doa dan ibadat memerlukan sifat otentisitas dan keaslian sebagai sebagai tanda kejujuran hati,” ucapnya.
Sumber: Sinar Indonesia Baru, 26 Juni 1993; hal. viii; kolom 1-4; disalin dari Clipping Biro Informasi HKBP; No. Blc. CK20-26061993; hal. 86;

Label:

0 komentar:

Posting Komentar